Pucuk tebu (sugarcane )

Tebu atau sugarcane adalah sumber utama produksi gula disebagian besar negara-negara tropis dan subtropis. Di Indonesia, produksi tanaman tebu pada tahun 2005 mencapai 2.241.806 ton dari luas areal perkebunan tebu 381.786 Ha dengan produktivitas mencapai 5.871,89 Kg/Ha (Deptan, 2008).


Pucuk tebu merupakan limbah yang tidak banyak dimanfaatkan oleh produsen gula sehingga berpotensi sebagai penyedia pakan ternak yang potensial. Selain itu, tanaman tebu biasa dipanen pada musim kemarau sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pengganti rumput yang pada musim tersebut persediaannya sangat berkurang. Menurut Sri H. (1988) yang dikutip Hendarto (1990) menyatakan bahwa pucuk tebu sebagai pengganti rumput gajah tidak memberi pengaruh negatif terhadap ternak potong maupun perah.

Jika diasumsikan bahwa bobot pucuk tebu 14% (Musofie dan Niniek, 1985) dari bobot keseluruhan tebu, maka dari 2.241.806 ton produksi tebu dapat dihasilkan sebesar 31.3852,84 ton pucuk tebu. Konsumsi pucuk tebu oleh sapi 20 kg/ekor/hari (Rudiono, 2003) yang dikutip Syukur (2006), maka produksi pucuk tebu tersebut setidaknya mampu menyediakan bahan pakan untuk 42.993 ekor sapi per tahun 2005.

Tabel 1. Perbandingan Komposisi Zat makanan Pucuk Tebu dan Rumput Gajah Umur 60 Hari (Ditjennak, 1987).

Hijauan

BK

PK

SK

Lemak

BETN

Pucuk Tebu

Rumput Gajah

39,45

25,50

5,33

6,04

35,48

39,25

0,90

1,80

48,60

46,86

Pucuk tebu dapat diberikan dalam bentuk segar maupun kering. Pucuk tebu mempunyai sifat cepat kering, layu dan berwarna kuning dalam waktu yang relatif cepat, maka perlu dilakukan pengawetan seperti dibuat silase, ataupun diolah menjadi wafer dan pellet. Seperti yang telah dilaporkan oleh Mochtar dan Tedjowahjono (1985) yang dikutip oleh Hendarto (1990), kandungan zat nutrisi pucuk tebu olahan lebih baik daripada diberikan segar.

Tabel 2. Perbandingan Komposisi Zat makanan Pucuk Tebu dalam Bentuk Segar dan Telah Diolah (Mochtar dan Tedjowahjono, 1985)

Zat Makanan

Segar

Silase

Wafer

Pellet

Air

BK

PK

LK

SK

Abu

75,23

24,77

5,47

1,37

39,90

10,21

4,84

33,69

4,84

1,04

46,99

12,56

5,31

91,61

5,31

1,21

34,88

7,95

6,28

91,03

6,28

1,50

33,76

10,43

Hasil penelitian Wardhani dkk. (1982), silase pucuk tebu yang disimpan selama 6 bulan berwarna hijauan kekuningan, hanya pada lapisan atas dan pinggi yang berwarna kehitam-hitaman, berbau busuk dan berjamur. Kemungkinan terdapat sedikit kebocoran sehingga terjadi kerusakan silase tersebut. Pucuk tebu yang dibuat silase mempunyai daya cerna yang lebih rendah dari pada rumput. Konsumsi silase pucuk tebu masih rendah sekitar 12 kg atau sekitar 5% bobot badan untuk sapi dengan bobot 235 kg, sehingga masih diperlukan makanan tambahan seperti konsentrat dan rumput.

Teknik yang diperkenalkan Widiyanto dkk yang dikutip Syukur (2006), cukup berhasil dalam pengolahan pucuk tebu yaitu melalui kombinasi perlakuan kimiawi (amoniasi), biologi (fermentasi dengan Trichoderma reesei) dan dilanjutkan dengan perlakuan fisik (pembuatan wafer dan pellet). Kombinasi perlakuan amoniasi dan fermentasi disebut amofer dan dengan perlakuan ini mampu menghasilkan peningkatan dayaguna yang jauh lebih tinggi, dibandingkan jika perlakuan dilakukan secara terpisah. Dijelaskan bahwa fermentasi dengan fungi sellulotik akan memecah selulosa, sehingga kecernaan pakan meningkat, sementara produksi biomassa fungi itu sendiri, merupakan pengayaan bahan pangan dengan protein bermutu tinggi, pengaruh fermentasi itu sendiri semakin efektif bila dikombinasi atau didahului dengan amoniasi, karena adanya pasokan nitrogen. Prows amoniasi merupakan praperlakuan yang penting, karena kebanyakan fungi tidak mampu memecah subtract yang berlignin (Widiyanto, dkk). Disamping itu disebutkan juga bahwa pembuatan pellet dapat meningkatkan konsumsi pakan, pemanasan yang menyertai proses tersebut juga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan protein murni yang terkandung dalam pucuk tebu yang terolah.

*Review by Edi Prayitno, S.Pt (dari berbagai sumber)

0 Responses

Tebu atau sugarcane adalah sumber utama produksi gula disebagian besar negara-negara tropis dan subtropis. Di Indonesia, produksi tanaman tebu pada tahun 2005 mencapai 2.241.806 ton dari luas areal perkebunan tebu 381.786 Ha dengan produktivitas mencapai 5.871,89 Kg/Ha (Deptan, 2008).


Pucuk tebu merupakan limbah yang tidak banyak dimanfaatkan oleh produsen gula sehingga berpotensi sebagai penyedia pakan ternak yang potensial. Selain itu, tanaman tebu biasa dipanen pada musim kemarau sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pengganti rumput yang pada musim tersebut persediaannya sangat berkurang. Menurut Sri H. (1988) yang dikutip Hendarto (1990) menyatakan bahwa pucuk tebu sebagai pengganti rumput gajah tidak memberi pengaruh negatif terhadap ternak potong maupun perah.

Jika diasumsikan bahwa bobot pucuk tebu 14% (Musofie dan Niniek, 1985) dari bobot keseluruhan tebu, maka dari 2.241.806 ton produksi tebu dapat dihasilkan sebesar 31.3852,84 ton pucuk tebu. Konsumsi pucuk tebu oleh sapi 20 kg/ekor/hari (Rudiono, 2003) yang dikutip Syukur (2006), maka produksi pucuk tebu tersebut setidaknya mampu menyediakan bahan pakan untuk 42.993 ekor sapi per tahun 2005.

Tabel 1. Perbandingan Komposisi Zat makanan Pucuk Tebu dan Rumput Gajah Umur 60 Hari (Ditjennak, 1987).

Hijauan

BK

PK

SK

Lemak

BETN

Pucuk Tebu

Rumput Gajah

39,45

25,50

5,33

6,04

35,48

39,25

0,90

1,80

48,60

46,86

Pucuk tebu dapat diberikan dalam bentuk segar maupun kering. Pucuk tebu mempunyai sifat cepat kering, layu dan berwarna kuning dalam waktu yang relatif cepat, maka perlu dilakukan pengawetan seperti dibuat silase, ataupun diolah menjadi wafer dan pellet. Seperti yang telah dilaporkan oleh Mochtar dan Tedjowahjono (1985) yang dikutip oleh Hendarto (1990), kandungan zat nutrisi pucuk tebu olahan lebih baik daripada diberikan segar.

Tabel 2. Perbandingan Komposisi Zat makanan Pucuk Tebu dalam Bentuk Segar dan Telah Diolah (Mochtar dan Tedjowahjono, 1985)

Zat Makanan

Segar

Silase

Wafer

Pellet

Air

BK

PK

LK

SK

Abu

75,23

24,77

5,47

1,37

39,90

10,21

4,84

33,69

4,84

1,04

46,99

12,56

5,31

91,61

5,31

1,21

34,88

7,95

6,28

91,03

6,28

1,50

33,76

10,43

Hasil penelitian Wardhani dkk. (1982), silase pucuk tebu yang disimpan selama 6 bulan berwarna hijauan kekuningan, hanya pada lapisan atas dan pinggi yang berwarna kehitam-hitaman, berbau busuk dan berjamur. Kemungkinan terdapat sedikit kebocoran sehingga terjadi kerusakan silase tersebut. Pucuk tebu yang dibuat silase mempunyai daya cerna yang lebih rendah dari pada rumput. Konsumsi silase pucuk tebu masih rendah sekitar 12 kg atau sekitar 5% bobot badan untuk sapi dengan bobot 235 kg, sehingga masih diperlukan makanan tambahan seperti konsentrat dan rumput.

Teknik yang diperkenalkan Widiyanto dkk yang dikutip Syukur (2006), cukup berhasil dalam pengolahan pucuk tebu yaitu melalui kombinasi perlakuan kimiawi (amoniasi), biologi (fermentasi dengan Trichoderma reesei) dan dilanjutkan dengan perlakuan fisik (pembuatan wafer dan pellet). Kombinasi perlakuan amoniasi dan fermentasi disebut amofer dan dengan perlakuan ini mampu menghasilkan peningkatan dayaguna yang jauh lebih tinggi, dibandingkan jika perlakuan dilakukan secara terpisah. Dijelaskan bahwa fermentasi dengan fungi sellulotik akan memecah selulosa, sehingga kecernaan pakan meningkat, sementara produksi biomassa fungi itu sendiri, merupakan pengayaan bahan pangan dengan protein bermutu tinggi, pengaruh fermentasi itu sendiri semakin efektif bila dikombinasi atau didahului dengan amoniasi, karena adanya pasokan nitrogen. Prows amoniasi merupakan praperlakuan yang penting, karena kebanyakan fungi tidak mampu memecah subtract yang berlignin (Widiyanto, dkk). Disamping itu disebutkan juga bahwa pembuatan pellet dapat meningkatkan konsumsi pakan, pemanasan yang menyertai proses tersebut juga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan protein murni yang terkandung dalam pucuk tebu yang terolah.

*Review by Edi Prayitno, S.Pt (dari berbagai sumber)

Usaha sampingan inspiratif